“Pasar dimana Nduk?“ sayup-sayup kudengar pertanyaan Ibu dari arah dapur rumahku. Tidak
berteriak, lembut saja tapi mampu menggugahku dari tidur. Perlahan, masih
dengan rasa kantuk yang cukup mengusik, aku berjalan ke arah dapur.
“Ibu mau ke
pasar?“ Pertanyaan
yang keluar dari mulutku itu hanya basa-basi belaka mengingat kemanapun Ibu mengunjungi rumah
anak-anaknya yang kini tinggal di berbagai kota, hal pertama yang akan beliau cari adalah pasar.
Dulu, aku pernah bertanya kenapa Ibu
selalu mencari pasar dan jawaban beliau, “Karena kalau tidak tahu pasar, Ibu tidak tahu mau ngapain. Ibu cuma pintar di dapur. Yang lain-lain Ibu ndak ngerti.”
“Lha iya, dapurmu kosong begini, Ibu mau masak apa?“
Tanya ibu sambil
tangannya tidak berhenti merapikan dapurku yang jarang tersentuh itu.
Hidup
di kota besar seperti Jakarta membuatku ketularan gaya hidup praktis. Apalagi
statusku yang masih lajang dan tinggal sendirian membuatku belum merasa perlu
untuk berinteraksi dengan segala hal yang berkaitan dengan dapur. Dapurku hanya
dihuni oleh kulkas, beberapa piring, gelas, sendok, peralatan masak seadanya, penanak
nasi elektronik, serta kompor gas yang gasnya sendiri sudah hampir satu tahun
belum pernah diganti sejak aku masih tinggal di kontrakan sempit daerah
Kalibata.
Rumah
yang baru saja kubeli dengan mencicil KPR di daerah Jagakarsa ini bagiku hanya
tempat bermalam saja. Selain karena kemacetan ibukota yang memaksaku harus
berjibaku dengan waktu dan meninggalkan rumah ini sejak pagi sekali, jam kerja
di kantorku yang tidak tentu juga membuatku jarang sekali menghabiskan waktu di
rumah. Akhir minggu pun aku lebih memilih
menghabiskan waktu di luar untuk berkumpul dengan teman-teman.
Tapi
sejak kemarin ada Ibu. Hadirnya Ibu di rumah ini memberi suasana yang berbeda. Suasana
rumah masa kecil yang begitu kental akan pesona kuat seorang ibu. Ibu yang dari kemarin lalu lalang mengitari rumah
untuk menata ini itu agar sesuai di tempatnya, Ibu dengan rambut disanggul
kecil, Ibu yang selalu memakai jarik
dimanapun sehingga dia selalu tampak anggun. Hadirnya Ibu membuatku enggan
meninggalkan rumah.
“Nanti
Disa antar Ibu ke pasar. Ibu
mau masak apa?” Tanyaku
“Kamu mau dimasakin
apa? Rawon?”
“Mau banget,
Dias mandi sekarang, Bu.” Kantuk
itu seolah lenyap ditiup semangat yang muncul mengetahui Ibu akan memasak
makanan kesukaanku. Tidak perlu mandi berlama-lama, aku pun segera mengantar Ibu
ke pasar yang dekat dengan rumah.
“Pasar dekat
begini kok pakai dianter, Nduk.
Kamu harusnya kasih tahu Ibu
saja arah-arahnyA,”
protes Ibu kepadaku setelah kami
selesai berbelanja. Ibu
selalu begitu, tidak pernah mau merepotkan. Tidak mau orang menjadi susah
karenanya. Walaupun orang itu adalah anaknya.
“Ya kan, Ibu baru pertama kesini, nanti nyasar,” jawabku singkat sambil mengemudikan
motor ke arah rumah lagi.
Cuaca pagi itu
sangat cerah. Cenderung gerah. Bersyukur aku sudah menyelesaikan acara belanja
tadi. Tidak tahan rasanya berada lama-lama di luar. Padahal ini baru pukul 8
pagi. Jakarta semakin panas saja.
“Kok iso
yo aku lali
beli kluwek,”
kudengar gumaman Ibu di dapur.
“Kluweknya lupa
bu?” Tanyaku
sambil menghampiri Ibu ke dapur.
“Iya,
padahal itu yang paling pokok. Ibu ke pasar sebentar ya, Nduk.
Sudah hapal kok, ndak usah diantar,” potong Ibu sebelum aku membuka mulut untuk menawarkan
mengantarnya.
“Ya
sudah, hati-hati ya, Bu.”
Walaupun aku
memaksakan mengantar, Ibu pasti bersikeras tidak mau. Aku cukup mengerti Ibu
sehingga memilih untuk melakukan apa yang beliau minta ketimbang berdebat
panjang dengannya yang pasti akan berakhir dengan kekalahanku.
Selepas Ibu
pergi ke pasar, aku memilih untuk mandi. Selesai mandi, rasa kantuk yang tadi
pagi masih tersisa datang lagi menyerang. Entah karena kesejukan setelah mandi,
atau karena suasana hari libur, mataku menuntut istirahat.
***
Entah sudah
berapa lama tertidur, aku terbangun oleh suara adzan dzuhur yang berkumandang dari masjid
di dekat rumah. Aku segera menuju dapur. Tapi kondisi dapur masih sama seperti
saat tadi pagi Ibu tinggalkan. Kubuka tudung saji tapi tidak ada rawon disana.
Hanya ada nasi uduk tadi pagi yang belum sempat kumakan sepulang dari pasar.
Kucari Ibu di sekeliling rumah, tapi tidak berhasil kutemukan. Kemana Ibu? Jantungku seolah dipompa
lebih kencang menyadari ketidakberadaan Ibu di rumah sejak tadi pagi ia menuju
pasar.
Sejenak kutarik
nafas dalam-dalam, menenangkan pikiran dan mencoba berpikir positif. Mungkin Ibu
mampir sejenak ke toko atau ngobrol dengan ibu-ibu lain kenalan baru sehingga
lupa waktu. Ah, tapi ini Jakarta, terlalu naif pikiranku. Aku bergegas menghidupkan motorku dan mulai
mencari Ibu. Aku mulai dengan pasar pagi yang kami kunjungi tadi. Pasar sudah
mulai sepi, sudah banyak kios yang tutup. Aku mulai bertanya satu persatu
kepada orang-orang di sekitar pasar. Mulai dari tukang ojek, tukang jual
makanan yang bertebaran di sekitar pasar, hingga gelandangan yang ada di
emperan toko. Hasilnya nihil, tidak ada yang melihat wanita tua berbaju kebaya
dan memakai jarik seperti yang aku
gambarkan kepada mereka. Penampilan ibu sangat mencolok sehingga pasti ada yang
mengingatnya kalau melihat.
Ibu dimana? Apa yang terjadi pada Ibu sekarang? Aku bergidik membayangkan kemungkinan-kemungkinan
buruk yang mungkin menimpa Ibu. Tiba-tiba terlintas di kepalaku tangan dan
leher Ibu yang dipenuhi dengan perhiasan emas saat pergi tadi pagi. Ah
bodohnya, kenapa aku tidak mengingatkan Ibu untuk melepasnya saat ke pasar
tadi. Bayangan tentang kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap Ibu membuatku
lemas. Ah, tidak..Alloh pasti melindungi Ibu. Ibu orang yang baik.
Aku
mulai lelah, keringat sudah membanjiri seluruh tubuhku. Bajuku basah, kepalaku
pusing, pandanganku mulai berputar-putar. Akumulasi dari perut yang belum diisi
sedari tadi pagi, sinar matahari yang sangat galak siang ini, ditambah
kecemasan yang luar biasa akan keberadaan Ibu.
Aku
menghampiri warung nasi dan memesan teh manis untuk sekedar menaikkan gula
darahku agar aku tidak jatuh pingsan di pinggir jalan. Tidak terpikir bagiku
untuk makan, makan mengingatkanku akan rawon yang harusnya siang ini tersedia
di meja makan, mengingat kata rawon membuat jantungku seperti dicengkeram kuat.
Rasanya sakit. Bagaimana jika rawon itu adalah pesan perpisahan Ibu. Tidak. Aku
belum siap.
Setelah
merasa lebih baik, aku melanjutkan pencarian lagi. Terpikir olehku untuk segera
melapor ke kantor polisi, tapi sebelumnya aku harus mengecek rumah dulu, siapa
tahu Ibu sudah kembali dan dia pasti kebingungan menemui rumah kosong. Tapi
harapan itu pupus. Rumah masih sepi, tidak ada tanda-tanda ada yang datang. Tidak
ada Ibu.
Aku
semakin kalut. Kupacu lagi motorku tak tentu arah. Menanyai setiap orang yang
aku temui, memasuki setiap gang kecil, menyusuri rel kereta api, berkeliling
terminal, semuanya kulakukan untuk mencari Ibu. Aku
panik. Akhirnya aku arahkan motorku ke pos polisi terdekat. Di sana, aku
dimintai keterangan tentang kronologis kejadian, biodataku, dan juga ciri-ciri Ibu.
Kata petugas, lebih baik bila ada fotonya sehingga bisa segera dilakukan
pencarian. Aku ingat foto keluarga di rumah, dan segera bergegas pulang lagi ke
rumah untuk mengambil foto tersebut. Seluruh badanku rasanya letih luar biasa,
tapi aku tidak bisa berhenti dan hanya menunggu.
***
Hari sudah gelap
saat aku tiba di rumah. Bergegas kukeluarkan foto keluarga di ruang tamu dari
bingkainya. Kutatap wajah-wajah di foto itu dan gelombang rasa takut yang
semakin besar kian menyerang karena menyadari sampai saat ini aku belum berani
untuk memberi kabar tentang hilangnya Ibu kepada kakak-kakakku. Ini baru hari
kedua Ibu di Jakarta. Ibu tidak kenal siapa-siapa. Mereka pasti akan
menyalahkanku.
Kuberanikan diri
meraih handphone dan mulai memencet nomor telpon kakak tertuaku. Nada panggil pertama
aku putus karena bunyi bel di depan pintu. Aku pun membanting handphone ke atas
kasur dan segera berlari ke pintu depan sambil berharap tebakanku benar. Benar
saja.
“Ibu!!!” Teriakku.
“Ya...Alloh, Ibu! Ibu darimana? Bikin
aku khawatir setengah mati, keliling seharian mencari Ibu, sampai aku lapor polisi. Ibu
darimana?!”
Kalimat-kalimat itu keluar dari
mulutku layaknya air bah, menyerang senyum Ibu. Tanpa memberi Ibu waktu
menjawab sedikitpun aku langsung menghambur ke pelukannya, hal yang sangat
jarang aku lakukan.
Terlalu sibuk
menyambut Ibu membuatku nyaris tidak menyadari kehadiran seorang wanita tua
lainnya seumuran Ibu hingga Ibu melepas pelukanku dan memperkenalkan wanita itu
kepadaku, “Nduk, ini Ibu Ratih. Teman baru Ibu.”
“Teman baru?” Tanyaku.
“Iya, tadi Ibu bertemu di pasar. Kita keasikan ngobrol.”
“Sampai semalam
ini, Bu?” Tanyaku sambil melirik Bu Ratih.
Ibu Ratih
terlihat agak kikuk melihat tatapanku. Diapun menyela, “Maaf ya Disa, tadi pagi kita
keasikan ngobrol. Akhirnya karena nggak enak ngobrol di pasar, Ibu ajak Ibumu ngobrol di rumah. Kebetulan Ibu sendirian di rumah. Anak-anak Ibu juga semua di luar kota, sama
seperti Ibumu.”
“Sudah-sudah Nduk, ini ada tamu bukan diajak masuk
malah ngobrol di depan. Mari masuk,
Bu, ini rumah anak saya,” ujar Ibu sambil
mempersilahkan Bu Ratih masuk.
Ibu Ratih
tampaknya masih tidak enak dengan reaksiku yang agak sinis sehingga dia segera
berpamitan pulang dan berjalan menuju mobilnya setelah sebelumnya aku mengucapkan
terimakasih dengan kaku.
“Ibu Ratih itu
suaminya sudah meninggal juga lo, Nduk,
anaknya ada di Banjarmasin, Jambi, dan
yang bungsu di Amerika katanya. Hebat ya.”
Aku
masih enggan merespon cerita Ibu. Terbayang semua kepanikanku tadi mencari Ibu
hingga nyaris pingsan dan ternyata beliau asik ngobrol tidak kenal waktu dengan
orang yang baru dikenal. Ibu seperti tidak menyadari kekesalanku dan terus saja
bercerita tentang Ibu Ratih. Kenapa Ibu menjadi cerewet begini cerita ini itu. Aku
jadi sebal melihatnya sehingga dengan tidak sabar aku memotong ceritanya.
“Ibu tahu nggak
sih tadi aku panik mencari Ibu? Aku hampir pingsan di
jalan karena kecapean dan belum
makan. Aku bertanya hampir ke semua orang di jalan apa ada yang melihat Ibu,
keliling ke terminal, stasiun, bahkan sampai lapor polisi. Eh, Ibu malah asik-asik ngobrol
di rumah orang yang baru kenal di pasar. Gimana kalau dia orang jahat? Ini
Jakarta, Bu,
bukan di daerah kita. Ibu
nggak kenal siapa-siapa di sini!”
Kataku berapi-api. Semua keletihan
tadi membuatku marah setelah mengetahui semua yang terjadi.
Kulihat Ibu mendekat,
menarik kursi di dekatku, lalu duduk, “Ibu tahu, Nduk.
Tadi
kan kamu sudah bilang itu semua saat Ibu datang. Mau bagaimana lagi , kamu tahu Ibu ndak bisa maenan HP untuk ngabarin
kamu, nomor kamu aja Ibu ndak hapal. Tadi Ibu
memang merasa nyambung sekali ngobrol
sama Bu Ratih. Ibu bisa merasakan dia orang baik makanya Ibu tidak keberatan diajak ke
rumahnya,”
jawab Ibu dengan nada lembut seperti biasa, namun kali ini kelembutan itu tidak
bisa mencairkan kemarahanku.
“Tapi Ibu keterlaluan. Ibu nggak mikirin perasaan aku. Paniknya aku
nyariin Ibu.
Aku takut Ibu
kenapa-kenapa. Ibu nggak mikirin semua itu.” Aku mulai terisak. Sungguh
aku kecewa sekali dengan sikap Ibu tadi. Sosok Ibu yang sangat bijak itu mendadak memudar di
mataku. Sikapnya kali ini sungguh egois.
“Iya, Ibu
minta maaf Nduk. Ibu salah sudah
membuatmu panik. Tapi...”
seketika
suara Ibu melirih, ia menunduk sejenak kemudian menatapku.
“Ibu kesepian,” lanjutnya.
Aku yang masih
berbalut emosi seolah tidak peduli dengan tatapan mata sayu itu, tidak peduli
dengan nada lirih yang tidak pernah kudengar itu, aku bahkan dengan sinisnya berkata,
“Kesepian bagaimana sih, Bu? Setiap hari kami
anak-anak Ibu
pasti menelpon. Kapanpun Ibu
datang ke rumah kami, kami semua akan senang. Bahkan jika Ibu mau tinggal bersama salah satu
dari kami, kami akan sangat gembira,
Bu. Tapi Ibu
menolak kan, Ibu
bilang tidak mau meninggalkan rumah kita dulu.”
“Nduk,
Ibu butuh teman bicara, sejak
kepergian ayahmu tidak ada lagi teman Ibu bertukar pikiran. Ibu tahu kalian selalu ada
untuk Ibu.
Kalian anak-anak yang sangat perhatian. Tapi ini berbeda Disa. Mungkin nanti...nanti suatu hari kamu akan mengerti
kesepian ini.” Perlahan
Ibu bangkit dari kursinya, mengelus
lembut rambutku, dan segera beranjak ke kamar. Meninggalkanku dan semua emosi
yang masih meletup-letup di kepala.
***
Kesepian? Benarkah
Ibu kesepian. Sebesar itukah rasa kesepian Ibu sehingga Ibu lebih memilih
mengobrol dengan seorang teman ketimbang menyiapkan rawon kesukaanku? Sejak
ayah pergi meninggalkan dunia ini, Ibu memang tinggal sendiri. Setiap bulan Ibu
mempunyai jadwal untuk mengunjungi anak-anaknya bergantian. Seperti bulan ini. Giliran
Ibu menginap di rumahku. Biasanya tidak lama, hanya seminggu saja.
Ibu
adalah ibu rumah tangga sejati. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya sendiri
tanpa pernah menyuruh atau meminta bantuan. Semua
masakan bisa dibuatnya dan semua rasanya pas di lidah. Buatku, Ibu selalu bisa
menyibukkan dirinya. Mencari kegiatan apa saja untuk dikerjakan. Jadi bagiku, setelah
kematian ayah, tidak ada yang
berubah. Ibu tetaplah wanita tegar sehingga kalimat “Ibu kesepian” itu
tidak pernah terbayangkan olehku diucapkan oleh Ibuku. Tapi ternyata aku salah,
wanita tegar itu butuh didengar seperti ayah dulu selalu mendengarkan cerita Ibu
sekecil apapun cerita itu. Wanita
tegar itu butuh ditemani seperti dulu ayah menemaninya di setiap waktu. Hal
yang tidak bisa anak-anaknya lakukan.
Lalu aku
membayangkan hari-hari Ibu
di rumah tanpa ayah. Dulu semua yang Ibu kerjakan hanya untuk ayah. Sekarang
untuk siapa Ibu bangun pagi? Untuk siapa Ibu pergi ke pasar? Untuk siapa Ibu
memasak dan membersihkan rumah? Ibu benar. Ibu kesepian. Air mataku menetes
membayangkan hari-hari berat yang Ibu lalui tanpa ayah dan tanpa kami
anak-anaknya ada di sisi. Mengisi hari sendirian dan hanya menunggu jam
berdentang di angka tujuh malam untuk menunggu telpon dari kami anak-anaknya
yang melakukan itu lebih karena kewajiban.
Ibu...Ah kenapa baru sekarang semua
terlihat jelas. Masih ada waktukah untuk memperbaiki semuanya?
Aku beranjak ke
kamar Ibu, melihatnya sudah terlelap tidur masih dengan kebaya dan jariknya. Ibu yang tidak pernah meminta
itu kini semakin menua. Sementara kami anak-anaknya semakin sibuk dengan
kehidupan kami sendiri. Mulai lupa kalau Ibu yang membuat kami sehebat ini. Membangun
pondasi kehangatan yang kuat sejak kami kecil, membentuk kami tanpa membentak, mencukupi
semua kebutuhan kami hingga kami lupa rasanya makan di tempat lain dan bermain
di tempat lain selain rumah. Ibu telah menjadi istri yang nrimo dan tidak pernah menuntut kepada ayah saat keluarga masih dalam
kondisi sulit. Ibulah tokoh utama di balik kesuksesan ayah dan kami. Kini di hari tuanya Ibu kesepian.
***
Aku sudah
mengambil keputusan, aku akan temani Ibu. Aku akan pulang dan menemaninya menghabiskan
waktu senja.Ya, aku akan pulang bersamamu, Bu. Janjiku sambil menatap punggung Ibu
yang sudah terlelap.
Bunyi sms
mengusik lamunan panjangku. Dari kakak pertamaku,
"Kamu
tadi kenapa nelpon kok mati? Ibu gimana? Bulan depan aku udah rencana liburan
sama masku tapi piye ngomong ke Ibu, ya agar dia nggak nginep di
sini dulu. Nanti malah tersinggung. Bingung aku".
Aku terdiam membaca untaian pesan singkat itu. Ah
Ibu..aku yang akan menemanimu, Bu. Aku janji.
Aku yang merasa durhaka ya,
BalasHapusAku yang merasa durhaka ya,
BalasHapusAku yang mencoba menyampaikan kasih untuk ibu.
Hapus