sumber gambar : http://www.salmanarif.co.vu/2013/11/aku-jingga.html |
Lamunanku
terputus karena tiba-tiba Amar menggenggam tanganku. Lembut
saja. Untung ada remang itu, kalau
tidak dia tentu akan melihat ekspresi terkejut di mataku, terutama rona merah
di pipiku. Ini bukan pertama kalinya dia menggenggam tanganku, dia pernah menggenggam
tanganku saat membantuku menyeberang
jalan, tapi ini pertama kalinya dia menggenggam tanganku dalam diam.
Menggenggam tanganku hanya karena ingin menggenggam. Tanpa
alasan lain. Aku biarkan jemari kami saling berkaitan. Seolah memang ini
seharusnya terjadi.
“Kenapa harus kamu?”
Akhirnya dia bicara.
“Aku?” Aku bertanya kepadanya sambil menunjuk diriku sendiri.
“Iya, kenapa harus kamu?”
ulangnya.
“Aku nggak
ngerti.” Aku memang tidak mengerti arah
pertanyaannya. Kenapa dia seolah menyalahkanku?
Lalu
Amar menarik tanganku yang masih digenggamnya ke arah dadanya, sebelah kiri. Tempat pompa kehidupan
berdetak. Aku bisa merasakan getaran yang sama kencangnya dengan getaran di
dadaku tadi saat tiba-tiba dia menggenggam tanganku.
“Kenapa kamu bisa melakukan ini?” tanyanya
sekali lagi. Pertanyaan yang sepertinya tidak butuh jawaban. Sehingga
aku hanya diam.
“Jadi serius begini,”
ujarku sambil tertawa canggung, berusaha memecah
sepi.
Amar
memandangku. “Nay, ini memang soal serius,” katanya tajam. Aku bisa merasakan
kekecewaan dari nada suaranya barusan.
Lalu
hening lagi. Aku agak menyesal dengan perkataanku tadi.
Andai kamu tahu kenapa ini begitu sulit untukku Amar. Aku pun ingin serius. Tapi kata serius itu sudah pernah kuucapkan pada orang lain yang cincin pemberiannya kini melingkar di jari manisku yang masih dipeluk erat jarimu.
Andai kamu tahu kenapa ini begitu sulit untukku Amar. Aku pun ingin serius. Tapi kata serius itu sudah pernah kuucapkan pada orang lain yang cincin pemberiannya kini melingkar di jari manisku yang masih dipeluk erat jarimu.
“Sekarang
aku mengerti Nay,” kata Amar pelan.
Mengerti
apa? Bukankah aku belum memberinya penjelasan? Tapi apa yang harus aku
jelaskan. Menjelaskan kalau aku tidak bisa melangkah dengannya?
Setelah
beberapa saat, Amar pun pergi. Melepas
genggaman tangannya di jariku, mengusap lemah kepalaku, dan yang kulihat
kemudian hanya ransel beratnya yang berayun membawa sosok kurusnya pergi
menjauh berselimut kekecewaan.
Note :
Kalau kata La Luna ini judulnya, Sepenggal Kisah Lama. Ditulis kembali untuk menghormati masa lalu yang pernah disinggahi Amar (bukan nama sebenarnya). Laki-laki yang (selalu) hadir di waktu yang tidak (pernah) tepat.
Yes! Ada aku 😁 #kepedean
BalasHapusIya ih, aku sering pake nama kamu di cerpen2 aku, lho, Naaay...😂😂😂
HapusAduh aduh,, aq jadi terkesima inih.... hihhii... Kak Yen keren ihhh.....
HapusHahaha...Alhamdulillah, Nay masih belum terdoktrin untuk panggil aku Tan**. Pertahankan prestasimu ya, Nak!!
Hapus