Rabu, 08 April 2015

Sejak Sore Itu


sumber gambar : http://www.salmanarif.co.vu/2013/11/aku-jingga.html
Sore ini ada yang aneh dan beda. Keheningan Amar menimbulkan prasangka. Membuatku berpikir tentang hubungan kami. Perhatian Amar kepadaku bukan layaknya perhatian kepada seorang teman, ajakan bertemu hanya untuk berbincang hal-hal ringan, menemani pulang seperti sebuah kewajiban, sindiran-sindiran halus tentang perasaan. Ah, sampai kapan hubungan ini akan terus begini?

Lamunanku terputus karena tiba-tiba Amar menggenggam tanganku. Lembut saja. Untung ada remang itu, kalau tidak dia tentu akan melihat ekspresi terkejut di mataku, terutama rona merah di pipiku. Ini bukan pertama kalinya dia menggenggam tanganku, dia pernah menggenggam tanganku saat membantuku menyeberang jalan, tapi ini pertama kalinya dia menggenggam tanganku dalam diam. Menggenggam tanganku hanya karena ingin menggenggam. Tanpa alasan lain. Aku biarkan jemari kami saling berkaitan. Seolah memang ini seharusnya terjadi.            
           
Kenapa harus kamu? Akhirnya dia bicara.
           
Aku? Aku bertanya kepadanya sambil menunjuk diriku sendiri.
           
Iya, kenapa harus kamu? ulangnya.
           
Aku nggak ngerti.” Aku memang tidak mengerti arah pertanyaannya. Kenapa dia seolah menyalahkanku?
           
Lalu Amar menarik tanganku yang masih digenggamnya ke arah dadanya, sebelah kiri. Tempat pompa kehidupan berdetak. Aku bisa merasakan getaran yang sama kencangnya dengan getaran di dadaku tadi saat tiba-tiba dia menggenggam tanganku.
           
Kenapa kamu bisa melakukan ini?tanyanya sekali lagi. Pertanyaan yang sepertinya tidak butuh jawaban. Sehingga aku hanya diam.
           
Jadi serius begini,” ujarku sambil tertawa canggung, berusaha memecah sepi.
           
Amar memandangku. “Nay, ini memang soal serius,” katanya tajam. Aku bisa merasakan kekecewaan dari nada suaranya barusan.
           
Lalu hening lagi. Aku agak menyesal dengan perkataanku tadi.

Andai kamu tahu kenapa ini begitu sulit untukku Amar. Aku pun ingin serius. Tapi kata serius itu sudah pernah kuucapkan pada orang lain yang cincin pemberiannya kini melingkar di jari manisku yang masih dipeluk erat jarimu.
           
“Sekarang aku mengerti Nay,” kata Amar pelan.
           
Mengerti apa? Bukankah aku belum memberinya penjelasan? Tapi apa yang harus aku jelaskan. Menjelaskan kalau aku tidak bisa melangkah dengannya?

Setelah beberapa saat, Amar pun pergi. Melepas genggaman tangannya di jariku, mengusap lemah kepalaku, dan yang kulihat kemudian hanya ransel beratnya yang berayun membawa sosok kurusnya pergi menjauh berselimut kekecewaan.
           
Note :
Kalau kata La Luna ini judulnya, Sepenggal Kisah Lama. Ditulis kembali untuk menghormati masa lalu yang pernah disinggahi Amar (bukan nama sebenarnya). Laki-laki yang (selalu) hadir di waktu yang tidak (pernah) tepat. 

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Iya ih, aku sering pake nama kamu di cerpen2 aku, lho, Naaay...😂😂😂

      Hapus
    2. Aduh aduh,, aq jadi terkesima inih.... hihhii... Kak Yen keren ihhh.....

      Hapus
    3. Hahaha...Alhamdulillah, Nay masih belum terdoktrin untuk panggil aku Tan**. Pertahankan prestasimu ya, Nak!!

      Hapus