Dimuat di harian Lampung Post tanggal 14 Juni 2015
Pulau Sebuku
dikata orang
Ada seribu
lebih dan kurang
Orangnya habis
nyatalah terang
Tiada hidup
barang seorang
Rupanya mayat
tidak dikatakan
Hamba melihat
rasanya pingsan
Apalah lagi
yang punya badan
Harapkan
rahmat Allah balaskan[1]
Pria tua itu setiap hari duduk di jalan berpasir yang menuju lokasi penambangan batu dan sabes[2]. Tidak henti-henti mulut
tuanya berbicara kepada setiap penambang yang lewat. Beberapa penambang menegurnya ramah, sebagian mengacuhkan,
sebagian lagi hanya tersenyum sejenak, lalu mata mereka kembali lurus ke depan. Para penambang tidak mau membuang energi untuk
bercakap-cakap. Mungkin mereka bosan karena setiap hari tentu bertemu, setiap hari tentu
akan mendengar kalimat yang sama dari pria tua itu. Keramahan berupa senyuman
hanya basa basi saja, hanya bentuk rasa kasihan.
Angin pantai kadang sepoi kadang landai di
pagi yang sedikit masih berkabut itu. Energi hasil pembakaran sarapan berupa
pisang rebus –yang biasa istri-istri mereka siapkan, kopi, dan sebatang rokok itulah yang
akan menjadi tenaga mereka untuk bekerja keras pagi ini hingga menjelang
siang.
Satu persatu para penambang menapak lincah
bebatuan hingga nyaris sampai di puncak bukit. Hidup mereka pasrahkan kepada
sebilah tambang yang melingkar di badan. Tambang itu yang menopang tubuh mereka
berayun-ayun sembari mencukil bebatuan dengan linggis. Suara gelegar bebatuan
yang jatuh mulai sering terdengar seiiring semakin banyak para pekerja yang
bergelantungan. Kadang bunyi-bunyi itu akan mengagetkan mereka yang tidak biasa
berada di sana, maklum terkadang batu yang jatuh bisa seukuran meja besarnya. Suara
gemuruh ban truk-truk pengangkut yang beradu dengan remahan batu, membuat pagi
itu semakin ramai.
Pria tua itu masih duduk
terdiam. Sesekali
mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan
setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada
yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
***
Amran
masih ingat, sejak dulu, ayahnya selalu bercerita tentang kegagahan gunung di
seberang kampungnya, yaitu kampung Kunyit Laut. Sejak ia kecil, kekaguman akan
Gunung Kunyit telah melekat di hati Amran. Jika tidak ada Gunung Kunyit,
mungkin dirinya tidak ada. Sebab menurut cerita ayahnya, Gunung Kunyit-lah yang
menjadi benteng alam saat tsunami akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883
datang menerjang kawasan Kunyit Laut dan Kunyit Seberang. Bagi Amran, gugusan
gunung yang saat ia kecil luasnya hingga di tepi pantai itu, bukanlah sekedar
bentang alam biasa. Dengan ketinggiannya yang mencapai 7000 kaki dengan
tumbuhan hijau yang membungkus tubuhnya, Gunung Kunyit adalah sebuah saksi mata
sejarah.
“Jangan
sampai dia rata dengan tanah,” ujar ayahnya sambil menunjuk Gunung Kunyit di
kejauhan. Setiap sore, Amran dan ayahnya selalu menunggu senja di pantai yang
langsung berbatasan dengan Teluk Lampung itu.
“Kalau
dia rata dengan tanah, habislah kita semua. Jangankan tsunami, gelombang pasang
besar sedikit saja, maka tenggelam kita semua,” lanjut ayahnya lagi.
Amran
kecil hanya mengangguk. Hanya sedikit sekali kata-kata dari untaian kalimat
yang disampaikan ayah, yang mampu dicerna oleh alam pikirnya. Tapi ia merasa
bahwa gunung itulah sumber segala pembicaraan mereka di sore-sore menanti
senja. Selalu tentang gunung itu.
***
“Saya mau makan apa, Pak,
kalau tidak kerja begini?”
“Tapi...”
“Tapi apa? Bapak mau mengulang cerita yang sejak kecil sudah aku
dengar? Bapak mau bilang kalau kita akan hancur kalau terus membiarkan gunung
itu rata dengan tanah? Bapak malu kepada orang-orang karena Bapaklah yang
selalu paling ngotot mendukung
pemerintah untuk menertibkan penambangan?”
Mulut tua itu hanya terdiam. Dalam hatinya
ia membenarkan ucapan lelaki keras kepala yang sangat mirip dengannya itu.
“Bapak bisa kasih saya dan istri saya makan kalau saya nggak kerja? Mana mungkin! Ibu saja hampir tiap hari menangis
karena sering tidak ada beras di rumah ini.”
***
“Sehari bisa dapat hampir dua ratus rebu, Lin. Asal kuat saja kerja
seharian. Semakin banyak truk yang terisi batu, semakin banyak hasil yang bisa
aku bawa pulang,”
“Itu uang
segitu bersih, Bang?”
“Bersih, Lin,
setelah dibagi dengan Pak Santoso dan pemecah batu.”
“Banyak juga,
Bang.”
“Makanya doakan
aku kerjanya selamat. Jangan kayak bapak yang hanya bisa ngelarang-larang.”
Tubuh tua yang
mulai bungkuk itu menghempaskan dirinya ke atas kursi lapuk berbau apek.
Percakapan antara anak dan mantunya itu terdengar jelas di rumah petak mereka.
Ia tahu, kalau akan tiba waktu anak lelaki satu-satunya mulai tertarik untuk
bekerja menjadi penambang. Rumah mereka yang sangat dekat dengan lokasi
penambangan, merupakan faktor utamanya. Ajakan untuk bekerja di sana hampir
setiap hari diterima oleh anaknya. Dulu kecintaan Amran kepada gunung itu
mungkin masih besar hingga bisa ditolaknya ajakan dari para tetangga untuk
menambang. Tapi kini, saat ia telah menikah, saat ekonomi keluarga semakin
terpuruk, saat tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki tanpa
ijazah, pilihan menjadi penambang menjadi hal yang paling mungkin ia lakukan.
Cinta itupun pudar saat cinta tidak bisa lagi mengisi perut yang masih meronta
kelaparan.
***
Sudah sebulan
ini, Amran bekerja menjadi penambang. Setiap pagi, ia keluar rumah dan baru
kembali sore hari. Seperti janjinya kepada istrinya, Amran selalu pulang
membawa banyak uang. Perekonomian keluarga mulai membaik. Beras sekarang selalu
ada di rumah itu.
Adzan maghrib berkumandang
di luar saat keluarga itu tengah berkumpul di satu-satunya ruangan agak luas di rumah itu.
“Bruk,” bunyi benda besar yang jatuh sangat
dekat.
Disusul bunyi gemuruh lebih
ramai lagi. Suasana mendadak mencekam. Mereka semua sesaat terdiam. Terdengar suara jeritan perempuan sangat
keras dari luar rumah. Belum sempat diketahui asal suara,
dengan sangat cepat atap rumah mereka telah rubuh diterjang bebatuan kapur yang besar-besar
bersamaan dengan suara jerit ketakutan -atau kesakitan salah satu anggota
keluarga. Lalu semua
gelap.
***
Hal pertama yang Amran lihat saat membuka mata adalah istrinya
dengan kepala yang terbebat kain kassa. Lalu kesadaran membawanya kembali
ke maghrib itu.
“Ayah dan Ibu mana?” itu kata-kata yang berhasil keluar dari
mulutnya yang terasa sangat
perih.
“Mereka ada. Sedang
beristirahat di ruang yang lain,” jawaban
pelan itu keluar dari mulut perempuan yang telah dinikahinya selama dua tahun ini.
Perasaan lega mulai
menyelimuti hatinya. Keluarganya selamat. Itu yang penting. Rumah bisa dibangun lagi, uang
bisa dicari. Mulai besok ia akan bekerja lebih keras lagi menambang
batu.
Kelegaan itu pecah oleh
isak tangis isterinya yang ternyata ditahannya sedari tadi sembari tangannya menunjuk-nunjuk kedua
kaki Amran. Kaki yang baru Amran sadari kalau tidak ada lagi. Hanya
menyisakan dua gumpal daging di atas lutut. Saat itu, dunianya hancur lebur.
***
Pria tua itu masih duduk
terdiam. Sesekali
mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan
setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada
yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
Kedua kakinya yang hanya sampai lutut membatasi geraknya.
Ditambah pasir hasil remah penambangan sangat tajam dan keras. Sulit baginya
untuk mencapai tempat yang lain tanpa bantuan tongkat yang kini bersandar di
sebelahnya.
Besok pagi, ia
akan ke sini lagi. Sampai ada yang mendengarnya, dan mengikuti perkataannya.
Epilog
Goenoeng Koenjit begitu orang Belanda menyebutnya. Luasnya
terbentang hingga ke ujung laut yang berbatasan dengan Teluk Lampung. Ia pernah
membentang gagah menghadapi tsunami akibat letusan Krakatau tahun 1883 dan menjadi
benteng perlindungan bagi masyarakat sekitar atas maut yang sempat mengintai. Tapi
itu dulu, sebelum batu-batunya berjatuhan menghempas bumi, mengisi perut-perut
lapar para penambang.
Kini, tidak pantas lagi rasanya dia disebut gunung. Tidak
tampak lagi keperkasaannya. Tubuhnya koyak disana sini akibat tebasan linggis
dan martil. Hampir 80% dari luasnya dahulu kini telah menjadi tanah rata dan pemukiman
para penambang. Kelak, jika suatu hari anda ke Bandar Lampung, mungkin tidak
pernah akan lagi melihatnya karena benteng tsunami itu telah berpeluk mesra
dengan bumi.
wooow, TanGiii, aku baru mampir dan baru selesai baca! Keren ih! Pesan moralnya dapet! Aku sulit bikin cerpen sekeren n berbobot kyk begini... :')
BalasHapusFheaa..makasi ya. Berarti berjodoh dengan hatimu hahaha...Fhea suka merendah padahal tulisannya sendiri baguuuus....
HapusApik :D
BalasHapusAaah...dipuji Bu Editor. Bingkai ah...
Hapus