Senin, 27 April 2015

Dari Khayalan Menuju Jogja

Hari Minggu kemarin, saat ulang tahun Kampus Fiksi Emas yang ke-2, ada banyak sekali petikan kalimat dari dua narasumber tamu yang sangat mengena di pikiran saya.

Mas Joni Ariadinata, selaku redaktur majalah  Horison, berbicara soal khayalan dan imajinasi. Berkhayal tentu semua orang bisa. Siapa yang tidak bisa berkhayal menjadi orang kaya? Siapa yang tidak bisa berkhayal tentang menang undian? Tapi untuk sebuah imajinasi, butuh kreatifitas yang tidak semua orang memilikinya. Jadi silahkan pilih, mau menjadi penulis yang hanya bisa berkhayal atau penulis yang mampu berimajinasi.

Masih menurut Mas Joni, penulis harus berwawasan luas dan memiliki kemampuan teknis menulis yang mumpuni agar karyanya tidak cacat secara logika. Ini tentu meruntuhkan anggapan awam kalau menulis cerpen itu mudah dan hanya berdasar khayalan saja.

Mas Joni menyarankan sebuah repetation agar menulis dapat menjadi sebuah habbit. Dia mencontohkan seorang Titis Basino yang sudah tidak muda lagi namun semangat menulis dan kedisiplinannya sangat luar biasa.

Ada sebuah cerita  berkesan yang dibagi oleh Pak Edi Akhiles tentang Mas Joni. Katanya, dulu Mas Joni pernah menginjak-injak karya orang lain yang dimuat di sebuah media cetak hanya karena dia merasa kalau seharusnya cerpen dia lah yang layak tampil di media tersebut. Kecintaan secara positif akan hasil karya itulah yang harus dimiliki seorang penulis apalagi jika karya yang dihasilkan telah melalui sebuah proses riset yang gila-gilaan.

Penolakan sebuah karya oleh media tentu harus diterima. Kekecewaan pasti ada, tapi jika setelah kecewa maka berhenti menulis, maka kita tidak akan bisa menjadi penulis.

"Orang yang 40 kali cerpennya ditolak lalu menulis dan mengirim lagi tentu akan menghasilkan tulisan yang lebih baik di pengiriman yang ke-41 karena dia telah berlatih sebanyak 40 kali."

Pembicara selanjutnya adalah Mas Raudal Tanjung Benoa. Meskipun memiliki buku beliau yang berjudul, "Parang Tak Berulu," saya masih kurang familiar dengan sosoknya. Namun, setelah membaca berderet karya dan aktivitas beliau, saya akhirnya menyadari kalau sayalah yang kurang piknik di dunia literasi.

Awalnya agak sulit untuk menyimak penjelasan beliau dengan lancar karena gaya bicaranya yang cepat khas orang Sumatera Barat. Tapi lama kelamaan, setelah mulai beradaptasi, saya justru banyak mendapat nutrisi baru untuk bahan pemikiran.

Mas Raudal berbicara atau sharing tepatnya tentang proses kreatif dalam menulis. Yang membuat saya akhirnya mengaguminya adalah, selama proses sharing, dia selalu berkata, "...itu kalau saya," di setiap akhir tips yang dia berikan. Terlihat sekali kalau Mas Raudal berusaha membuat kami tidak merasa digurui melainkan hanya proses sharing saja. Hal itu sepertinya mangandung pesan bahwa setiap orang akan mengalami proses kreatif yang berbeda-beda. Tidak ada suatu pakem tertentu.

"Jangan membebankan sebuah kesempurnaan terhadap karya sastra." Kata-kata tersebut diberikan sebagai jawaban atas pertanyaan peserta mengenai ketidakpercayaan dirinya untuk mengirim naskah ke media karena selalu merasa ada yang salah. Menurut Mas Raudal,  bahkan sebuah novel sekelas Layar Terkembang saja masih memancing kontroversi mengenai matinya tokoh Maria. Jadi, selesaikan saja karyamu.

"Seorang penulis yang masih khawatir terhadap pasar berarti dia tidak memiliki kepercayaan diri terhadap nilai sastra yang ada di dalam karyanya."
Kalimat indah dan mengusik ini menjadi jawaban dari Mas Raudal untuk pertanyaan mengenai cara penulis menyikapi pasar buku yang terus berubah.

Terakhir, ada satu kalimat dari Mas Raudal -saat ia berbicara tentang pentingnya sebuah komunitas dan silaturrahmi dengan teman-teman di Jogja- yang bagi saya secara pribadi sangat mengena di hati.
"Perjalanan ke Jogja adalah perjalanan untuk menjaga hubungan emosional dengan sastra, dengan dunia yang sejatinya kita cintai."

Sekian dan Selamat Ulang Tahun Kampus Fiksi Emas yang ke-2

Minggu, 12 April 2015

Mekarnya Bunga Youtan Poluo





Dimuat di kampusfiksi.com (Cerpen Jumat) &Pemenang Arisan Cerpen Kampus Fiksi Angkatan 11 (putaran kedua)

Ini kali keduanya Yuwen tampil di San Diego. Baginya dan seluruh tim Wu Dao Performing Arts, ini akan menjadi musim dingin yang menyenangkan karena California bagian selatan banyak mendapat cahaya matahari. Tidak seperti tahun kemarin dimana mereka harus menghabiskan musim dingin di Eropa yang suhu udaranya turun sampai -20 derajat Fahrenheit. Hal sederhana lainnya yang menggembirakan bagi Yuwen dan penari lainnya adalah, San Diego Civic Theatre memiliki tempat rehearsal[1] yang lebih luas dan lebih banyak cermin dibanding gedung pertunjukkan lainnya. Cermin-cermin itu sangat penting bagi para penari untuk mengukur seberapa tinggi kaki mereka saat diangkat menentang gravitasi bumi –dan juga untuk mengagumi diri sendiri. Tapi yang paling utama dari itu semua adalah tempat mereka tampil dan berlatih kali ini memiliki lantai marley. Lantai yang khusus untuk menari itu memang tidak bisa ditemukan di semua gedung pertunjukkan. Paling tidak persediaan beberapa pasang sepatu yang Yuwen bawa dari New York tidak akan banyak berkurang hanya karena lantai semen atau karpet kasar yang dengan cepat bisa membuat bolong alas kakinya.

***

Pagi ketiga Yuwen di San Diego dan lagi-lagi pandangannya  jatuh pada sosok gadis kecil yang melihat sesi latihan mereka dari kaca lebar di sebelah kiri ruangan. Gadis kecil itu tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga ikut melihat sesi latihan yang harusnya tertutup. Tapi yang membuat Yuwen mengingat kalau gadis itu tidak pernah absen sejak hari pertama latihan mereka adalah penampilannya yang mencolok mata. Bagaimana tidak, ia hadir di tengah-tengah kerumunan manusia yang berpakaian rapi dan bersih. Tubuhnya yang kecil itu –bahkan sangat kecil, dibungkus oleh jaket kebesaran, berpadu dengan celana jeans lusuh dengan size yang juga sangat besar. Rambutnya yang kemerahan tampak kusam dan ia menggenggam gulungan karton besar di tangan kanannya. Mata cokelatnya yang bulat besar terus bergerak mengikuti langkah para penari. Mata itu memancarkan keingintahuan sekaligus kegembiraan yang luar biasa. Ironisnya, hanya mata itu yang tampak hidup

Aku ingin menjadi penari.” Itu kalimat pertama yang Yuwen dengar saat ia akhirnya menghampiri gadis itu karena kalah akan rasa penasaran. Kalimat itu bahkan keluar sebelum Yuwen bertanya apapun padanya.

“Siapa namamu?” tanya Yuwen akhirnya.

“Nancy,” jawabnya dengan suara lemah.

Melihat Nancy dari dekat ternyata jauh lebih mengkhawatirkan dibanding menatapnya melalui kaca lebar di ruang latihan. Leher gadis itu teramat kurus. Yuwen tidak tahu, apakah jaket kebesaran itu digunakannya sebagai kamuflase agar terlihat lebih berisi, atau dia memang membutuhkannya untuk merasa nyaman di cuaca musim dingin ini.

Yuwen menyadari kalau kondisi Nancy tidak memungkinkan untuk menjadikannya seorang penari, tapi Yuwen juga tidak ingin menjawab keinginan Nancy dengan kata-kata yang seolah-olah menghibur hati namun hanya akan menjadi harapan semu bagi gadis itu. Di pertemuan pertama itu, Yuwen memilih diam dan membiarkan mata cokelat Nancy terus menatap ke dalam ruangan yang kosong ditinggal para penari berisitirahat. Tidak lama kemudian, Nancy pergi.

***

Besoknya Nancy datang lagi. Kali ini dengan syal rajutan besar mengelilingi lehernya yang kecil. Jaket yang kebesaran itu masih dikenakannya. Saat sesi istirahat berlangsung, lagi-lagi Yuwen mendatangi Nancy.

“Kenapa Kakak datang ke sini lagi?” Nancy bertanya tanpa menatap mata Yuwen.

Yuwen sendiri sebenarnya heran dengan ketertarikannya yang luar biasa terhadap Nancy. Yuwen merasakan seperti ada sebuah magnet yang tubuh ringkih itu pancarkan agar dia selalu mendekat.
         
“Kamu tahu bunga youtan poluo, Nancy?” Yuwen bertanya tanpa menjawab pertanyaan Nancy sebelumnya.
           
Nancy hanya menggeleng. Tapi pertanyaan itu berhasil membuat mata coklat Nancy mengarah kepada Yuwen.

“Melihatmu mengingatkanku akan youtan poluo.” Sedari kemarin, hal ini yang terus melintas di benak Yuwen saat melihat Nancy. Bunga yang di musim pertunjukkan kali ini banyak disebut dalam sesi latihan Wu Dao Performing Arts.

“Apa itu?”

“Bunga yang menurut legenda hanya tumbuh 3000 tahun sekali. Warnanya putih tidak ternoda, kecil seperti kamu, terlihat lemah, tapi ternyata tangguh. Bila sudah tumbuh di suatu tempat, dia akan sulit untuk dicabut. Menarik, karena bahkan dia tidak terlihat memiliki akar.”

Nancy tertawa mendengar cerita Yuwen. Wajah itu ternyata masih menyimpan kecantikan. “Itu hanya legenda, Kak. Kalaupun ada, siapa yang bisa menjamin kebenarannya? Siapa manusia yang umurnya sangat panjang hingga bisa menghitung kelahiran bunga itu?” Pertanyaan kritis itu keluar dari mulut yang terlihat tidak mampu mengeluarkan kata. Mengeluarkan kalimat sepanjang itu membuat nafasnya terengah-engah. Nancy merapatkan jaket tebalnya ke badan.

“Kamu sakit, Nancy?” tanya Yuwen melihat tingkah Nancy.

“Ya, sakit keras,” jawabnya ringan.

Sakit apa yang dialami anak sekecil ini sehingga mampu menghabisi seluruh berat badannya? Sakit apa yang dihadapinya sehingga seluruh tubuhnya mengeluarkan aroma kesedihan? Yuwen bertanya dalam hati.

“Aku akan menunjukkan youtan poluo padamu besok. Tidak perlu menunggu 3000 tahun, Nancy,” ucap Yuwen spontan.

Mata Nancy terbelalak mendengar ucapan Yuwen. Sejenak, Nancy terlihat sangat sehat dan bahagia.

“Ya, besok malam, temanku akan menunggumu di sini dan mengantarkanmu menemuiku. Kita akan melihat youtan poluo bersama,” jawab Yuwen lagi untuk meyakinkan Nancy.

“Aku akan datang. Terima kasih.” Wajah itu menyiratkan kegembiraan yang sangat besar.  

Jika Nancy memang sakit keras, maka aku akan memberikan pengalaman yang indah untuknya besok. Janji Yuwen pagi itu.

***

Gemuruh tepuk tangan terdengar  di seantero gedung San Diego Civic Theatre. Hampir seluruh penonton yang berjumlah sekitar tiga ribu orang memberikan standing applause pada penampilan terakhir malam ini sekaligus penampilan yang menyudahi rangkaian tur Wu Dao Performing Arts di California Selatan.

Bunga Youtan Poluo Yang Sedang Mekar[2] ditampilkan dengan luar biasa cantik." Terdengar suara MC dua bahasa setelah keramaian tepuk tangan berakhir.

Tarian yang baru saja ditampilkan memang benar-benar memukau mata seluruh penonton. Begitu tirai dibuka, terlihatlah kemegahan Buddha yang dilanjutkan dengan legenda tentang bunga yang hanya dapat ditemui 3000 tahun sekali. Bunga Youtan Poluo yang berwarna putih tanpa cela diterjemahkan dengan  kostum penari yang berwarna putih bersih, tangkainya yang tipis serta tampak lemah tergambar dalam langkah-langkah kaki penari yang ringan seperti mengambang. Sangat cantik dan anggun.

Sejatinya, bunga ini bukanlah simbol perpisahan, melainkan simbol sebuah kedatangan, tapi dipilihnya Mekarnya Bunga Youtan Poluo sebagai tarian penutup lebih kepada kemegahan sekaligus kesucian yang dihadirkannya.

Di sana, di atas panggung, di antara puluhan orang dengan kostum buatan tangan yang memukau, ada sebuah senyum yang tidak bisa lepas dari mulut seorang wanita bernama Yuwen. Tapi senyum itu perlahan memudar seiiring tatapan matanya yang tidak juga berhasil menemukan sosok kecil dengan jaket kebesaran di bangku yang khusus dia berikan kepada penonton spesial malam iniKemana kamu, NancyYoutan Poluo mekar di sini, seperti yang aku janjikan.

***

Malam itu, jauh dari keriuhan San Diego Civic Theatre yang sedang menampilkan Wu Dao Performing Arts –kelompok kesenian yang terkenal akan penampilannya dalam membawakan budaya-budaya Tiongkok, di pemukiman kumuh belakang Plaza Camino, seorang gadis kecil melepas jaket yang telah menemaninya seharian. Ia juga melepas kaos dan celana jeans kusam miliknya. Malam ini seharusnya dia menyaksikan bunga youtan poluo yang sedang mekar. Entah benar atau tidak ucapan kakak penari itu, tapi ia sangat ingin melihatnya. Bunga yang menurut legenda butuh waktu 3000 tahun untuk melihatnya lagi.

Ia memandangi satu-satunya barang mewah di tempat tinggalnya. Sebuah cermin tinggi dan lebar yang sudah retak di banyak sisinya. Diangkatnya satu kakinya perlahan hingga lututnya mampu menyentuh hidung, kemudian disandarkan kaki yang sudah terangkat tinggi itu ke cermin. Ada rasa sakit yang timbul. Bukan sakit karena gerakan itu –dia sudah menguasai gerakan itu sejak dahulu, tapi sakit yang timbul di seluruh badannya. Kertas karton besar bertuliskan “NEED MONEY FOR FOOD” yang setiap hari ia bawa dan bentangkan sambil mengharap belas kasihan para pejalan kaki, kini tergeletak di dekat kakinya. Sedikit percikan darah mulai mengering di sana.
            
Nancy sudah sering dipukul, ditampar, bahkan disayat tangannya oleh Mama karena hal-hal kecil yang membuat Mama marah. Mama sangat mudah tersulut amarah akhir-akhir ini. Mungkin karena beberapa hari ini ia pulang dengan tidak membawa banyak uang karena diam-diam sering keasikan menonton latihan tari di gedung pertunjukkan megah itu.

Selama ini Nancy tidak pernah menangis. Tapi kali ini, sambil melihat bayangannya di cermin, Nancy mulai menangis. Seluruh tubuhnya yang telanjang terlihat dengan jelas di cermin itu. Luka lebam hampir di sekujur tubuh kurusnya. Di kakinya masih ada satu sayatan merah yang belum berhenti mengeluarkan darah. Luka itu baru saja diterimanya malam ini saat mencoba kabur dari rumah. Saat ia mencoba pergi diam-diam untuk melihat bunga youtan polou yang sangat langka. Luka itulah penyebab tangisnya malam ini karena untuk pertama kalinya mama menyakiti sepasang kaki yang sangat dicintainya. Kaki yang diharapkan akan membawanya menjadi seorang penari.




[1] latihan
[2] Tarian yang diciptakan dari budaya tradisional Tiongkok.

Cat: Cerpen ini menjadi kontributor di blog Kampus Fiksi angkatan 11 (www.kf-11.blogspot.com)


Rabu, 08 April 2015

Sejak Sore Itu


sumber gambar : http://www.salmanarif.co.vu/2013/11/aku-jingga.html
Sore ini ada yang aneh dan beda. Keheningan Amar menimbulkan prasangka. Membuatku berpikir tentang hubungan kami. Perhatian Amar kepadaku bukan layaknya perhatian kepada seorang teman, ajakan bertemu hanya untuk berbincang hal-hal ringan, menemani pulang seperti sebuah kewajiban, sindiran-sindiran halus tentang perasaan. Ah, sampai kapan hubungan ini akan terus begini?

Lamunanku terputus karena tiba-tiba Amar menggenggam tanganku. Lembut saja. Untung ada remang itu, kalau tidak dia tentu akan melihat ekspresi terkejut di mataku, terutama rona merah di pipiku. Ini bukan pertama kalinya dia menggenggam tanganku, dia pernah menggenggam tanganku saat membantuku menyeberang jalan, tapi ini pertama kalinya dia menggenggam tanganku dalam diam. Menggenggam tanganku hanya karena ingin menggenggam. Tanpa alasan lain. Aku biarkan jemari kami saling berkaitan. Seolah memang ini seharusnya terjadi.            
           
Kenapa harus kamu? Akhirnya dia bicara.
           
Aku? Aku bertanya kepadanya sambil menunjuk diriku sendiri.
           
Iya, kenapa harus kamu? ulangnya.
           
Aku nggak ngerti.” Aku memang tidak mengerti arah pertanyaannya. Kenapa dia seolah menyalahkanku?
           
Lalu Amar menarik tanganku yang masih digenggamnya ke arah dadanya, sebelah kiri. Tempat pompa kehidupan berdetak. Aku bisa merasakan getaran yang sama kencangnya dengan getaran di dadaku tadi saat tiba-tiba dia menggenggam tanganku.
           
Kenapa kamu bisa melakukan ini?tanyanya sekali lagi. Pertanyaan yang sepertinya tidak butuh jawaban. Sehingga aku hanya diam.
           
Jadi serius begini,” ujarku sambil tertawa canggung, berusaha memecah sepi.
           
Amar memandangku. “Nay, ini memang soal serius,” katanya tajam. Aku bisa merasakan kekecewaan dari nada suaranya barusan.
           
Lalu hening lagi. Aku agak menyesal dengan perkataanku tadi.

Andai kamu tahu kenapa ini begitu sulit untukku Amar. Aku pun ingin serius. Tapi kata serius itu sudah pernah kuucapkan pada orang lain yang cincin pemberiannya kini melingkar di jari manisku yang masih dipeluk erat jarimu.
           
“Sekarang aku mengerti Nay,” kata Amar pelan.
           
Mengerti apa? Bukankah aku belum memberinya penjelasan? Tapi apa yang harus aku jelaskan. Menjelaskan kalau aku tidak bisa melangkah dengannya?

Setelah beberapa saat, Amar pun pergi. Melepas genggaman tangannya di jariku, mengusap lemah kepalaku, dan yang kulihat kemudian hanya ransel beratnya yang berayun membawa sosok kurusnya pergi menjauh berselimut kekecewaan.
           
Note :
Kalau kata La Luna ini judulnya, Sepenggal Kisah Lama. Ditulis kembali untuk menghormati masa lalu yang pernah disinggahi Amar (bukan nama sebenarnya). Laki-laki yang (selalu) hadir di waktu yang tidak (pernah) tepat.