Minggu, 15 Januari 2017

Day #16 Writing Challenge "Something You Always Think 'What If' About"

Gambar dari sini

Kalau mendengar 'What if' ingatan saya otomatis melayang ke 3 lagu. Yang pertama lagunya, Kate Winslet yang judulnya "What if'".
What if I had never let you go
Would you be the man I used to know
If I'd stayed
If you'd tried
If we could only turn back time
But I guess we'll never know
Lalu saya jadi ingat lagunya Joan Osborne yang judulnya "One of Us"
What if God was one of us?
Just a slob like one of us?
Just a stranger on the bus
Trying to make His way home?
Yang terakhir saya jadi inget juga lagunya Beyonce yang "If I Were A Boy"
If I were a boy
I think I could understand
How it feels to love a girl
I swear I’d be a better man.
I’d listen to her
'Cause I know how it hurts
When you lose the one you wanted
'Cause he’s taken you for granted
And everything you had got destroyed
Nah, jadi apa hubungannya lagu-lagu tersebut dengan tema postingan kali ini? Nggak ada sih. Saya cuma mau curhat aja kalau lagu-lagu di atas enak dan bikin berandai-andai. Gimana ya kalau dulu saya nggak melepaskan kamu? Gimana ya kalau ternyata Tuhan itu adalah salah seorang di antara kita? Gimana ya kalau saya jadi laki-laki? 

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu sering berandai-andai sejauh itu. Terutama untuk hal-hal yang sudah terjadi di masa lalu. Tapi, ada dua pertanyaan yang sering saya ajukan ke diri sendiri. 

Pertama. 
Jika saya berada di tempat yang jauh di mana tidak seorang pun mengenal saya, apa saya akan tetap bersikap seperti saya yang sekarang atau tidak?
Pertanyaan ini sebenarnya muncul dari sebuah ketakutan kalau sedikit hal-hal baik yang pernah saya lakukan adalah karena rasa takut saya untuk tidak dilihat baik. Bagaimana jika saya berada di tempat yang asing dan tidak ada seorang pun yang mengenal saya? Apa saya akan tetap memegang teguh nilai-nilai kebaikan atau malah berani mencoba hal-hal yang tidak baik? Misalnya saja suatu hari saya terbangun di New Zealand dan bertemu dengan cowok ganteng yang mengajak saya tinggal bareng di rumahnya di daerah Coromandel yang pantainya indah-indah, yang hutan hujannya berkabut setiap pagi, yang rumahnya punya kolam air panas sendiri, yang punya kapal pesiar sendiri, yang...*ngayal* Saya bakal mau atau tetap nolak? Kalau itu terjadi di Indonesia pasti saya nolak, kan. Nah, saya nolak itu kenapa? Karena saya memang yakin kalau tinggal bareng dengan laki-laki yang bukan muhrimnya itu salah atau karena ada hal-hal lain di luar keyakinan itu yang membuat saya berpikir ribuan kali untuk menerima? Dari pertanyaan itu saya belajar bahwa melakukan  atau tidak melakukan sesuatu haruslah karena keyakinan kita sendiri akan salah dan benar. Bukan karena ikut apa kata orang, bukan karena ada keharusan menjaga perasaan, bukan juga karena keterpaksaan. 

Kedua. 
Jika saya berada di posisi dia, apa saya akan melakukan hal yang sama?
Pertanyaan ini sering muncul biasanya saat saya menghadapi konflik dengan seseorang. Ketimbang marah-marah (baik di depan orangnya atau tidak) saya lebih suka membayangkan jika saya berada di posisi dia. Jangan-jangan saya akan berbuat hal yang sama jika saya di posisi dia. Jangan-jangan saya malah bersikap yang lebih kacau lagi kalau saya di posisi dia. Tidak, saya tidak sebaik hati itu, (siapa juga yang menilai baik hati? hahaha...) hal tersebut saya lakukan justru karena saya sangat egois. Saya tidak mau pikiran dan hari-hari saya terganggu dengan perasaan bersalah yang pasti (karena selalu begitu) terjadi tiap kali saya melampiaskan kemarahan. Selain itu, wajah saya ini sangat protagonis ramah. Tidak cocok marah-marah. :P

Nah, sekian.

19 komentar:

  1. "Misalnya saja suatu hari saya terbangun di New Zealand dan bertemu dengan cowok ganteng yang mengajak saya tinggal bareng di rumahnya di daerah Coromandel yang pantainya indah-indah, yang hutan hujannya berkabut setiap pagi, yang rumahnya punya kolam air panas sendiri, yang punya kapal pesiar sendiri, yang..."

    ah, saya mah cukup Goblin ahjussi saja... *roaming* :))))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha..Goblin juga udah masuk di antrian nonton. Tar kita bahas ya Lu...=p

      Hapus
    2. Goblin ini beneran asik ga sih? Lama2 saya jd pnasaran, bagusan mana ama DoTS? #diseriusin

      Hapus
    3. Nah, saya juga belum nonton, Mas. Si Lulu yang udah tuh. Yang lebih bagus dari DOTS? Yang mahal banyak! #malahiklan

      Hapus
    4. Goblin, dari segi cerita lebih nampol, dots dari segi visual nampol nya. Beda versi, tapi dua-duanya nampol. Dots superhero nya human yang ke-super-super-an, kalo goblin super hero beneran, bukan manusia soalnya. Hahahaha

      Hapus
    5. Goblin udah kusimpan leptop tapi baru sampe episode 10. Nunggu komplit baru nonton hehehe...

      Hapus
    6. nonton geh mbak.. tinggal 3 episode ini... :)))

      Hapus
  2. sekarang aku jadi paham kenapa Zai bisa keritis... :')) oh, Mamakuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena suka denger lagu Beyonce? :") Postingan kamu mana, Piaaaaah? I'm waiting...

      Hapus
  3. Pertanyaan pertama sungguh filosofis. hmmm aku jadi merenung. *emot elus dagu*

    BalasHapus
  4. Aku sering juga sama yang kedua, Tan. Tapi bukan pas marah2. Wkwkw. *lagi travelling challeng~ 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi kamu seringnya pas apa? Ikutan writing challenge dong, Put. Biar bahagia. #halah

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. Aku ada niat untuk nulis dengan tema ini. Nantikan ya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. what if ku kebanyakan... Nantilah dirangkum dulu... 😂

      Hapus
    2. Aku selalu menantikan kok, Kim =")

      Lu, gak usah dirangkum juga tetap aku baca kok ahahaha

      Hapus
  7. Pertanyaan nomor satu... iya sih, perkara kontrol internal itu ya... *merenung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kalau TanSis mungkin udah terbukti ya kontrol internalnya karena jauh dari orang-orang yang dikenal. Hehehe...

      Hapus