Rabu, 18 Januari 2017

GADIS PANTAI (PRAMOEDYA ANANTA TOER)



Gadis Pantai berkisah tentang seorang perempuan belia dari kampung nelayan yang memikat hati seorang priyayi. Pernikahan bahkan dilakukan tanpa mengetahui apakah Gadis Pantai sudah mengalami menstruasi pertamanya atau belum. Gadis Pantai dinikahkan dengan keris sebagai wakil dari seorang pembesar yang tidak pernah dilihatnya. Dimulailah kehidupannya sebagai Bendoro Putri di kota. 

Meninggalkan kampung dan kehidupannya yang tidak pernah sekalipun ia tidak merasa bahagia walaupun hidup kekurangan. Keluarganya tidak bisa menolak karena dengan Gadis Pantai menikahi seorang priyayi, berarti diangkat pula derajat keluarga mereka. Gadis Pantai perlahan-lahan belajar menjadi istri seorang pembesar. Istri yang hanya menjadi pemuas nafsu sex suaminya. Yang hanya dihampiri kamarnya di waktu-waktu tertentu. Yang diberi kelimpahan materi namun tidak pernah keluar sedikit pun dari rumah itu. Yang perlahan-lahan mulai menyadari kalau posisinya setiap saat bisa tergantikan jika Bendoro telah memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya. Ia yang lugu kini mulai merasa cemburu. Bendoro memiliki kharisma dan wibawa yang tidak bisa ditolaknya. Namun, seluruh pengabdiannya dibalas dengan pengusiran setelah ia melahirkan bayi perempuan. Ia harus meninggalkan rumah juga meninggalkan anaknya. Tidak boleh mengingat lagi bahwa ia pernah menjadi seorang istri juga seorang ibu.

Membaca buku ini, hati saya seperti disayat-sayat. Membayangkan Gadis Pantai di usia yang sangat belia harus meninggalkan keceriaannya dan hidup di dalam rumah Bendoro selama bertahun-tahun tanpa berani untuk menjenguk kedua orangtuanya karena takut dianggap banyak meminta. Belajar perlahan-lahan tentang cara mengabdi dan berakhir dengan tragedi. Ada satu dialog yang cukup menggambarkan arti bagimana penghambaan manusia terhadap manusia di buku ini. Dialog ini adalah percakapan antara Gadis Pantai dan seorang pembantu yang mengurusnya sejak dari awal masuk ke rumah Bendoro:

"Jadi apa mesti aku perbuat, Mbok?"
"Ah, berapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi Mas Nganten. Sujud, takluk sampai ke tanah pada Bendoro." (Hal.99)
Buku ini benar-benar sebuah jejak sejarah yang sangat berarti. Sayangnya, dua buku lanjutan Gadis Pantai ini dimusnahkan. Seperti yang disampaikan oleh penerbit di halaman awal buku Gadis Pantai

"...,dua buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir, dan kekerdilan tradisi aksara." (Lentera Dipantara)

5 komentar:

  1. "Belajar perlahan-lahan tentang cara mengabdi lalu berakhir dengan tragedi."

    Aku langsung nangis baca kalimat itu. :') Satu kalimat yang merangkum intisari dari bukunya. Langsung kebayang lagi cerita tragis si gadis pantai... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Taaaan....aku sedih banget baca buku ini. Manusia diperlakukan kayak bukan manusia. Nggak perlu disiksa secara fisik tapi jiwanya nggak bisa merdeka.

      Hapus
    2. Iyaaa... dan aku masih amazed sama Eyang Pram bisa menyelami kesedihan si perempuan sejauh itu, menggambarkannya dengan akurat... ya ampuuun T.T

      Hapus
    3. Banget, Taaaan...dan dari buku2nya yang lain, cuma buku ini yg bisa selesai dalam dua hari aja. Buku lainnya biasanya baca tinggal...baca tinggal...baca lagi...tinggal lagi wkwkwkw. Tapi gara2 ini aku mau mulai baca buku Eyang yang lain :))))

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus