Kamis, 02 Februari 2017

PINTU HARMONIKA (CLARA NG & ICHA RAHMANTI)

gambar dari sini

Pintu Harmonika bercerita tentang kehidupan tiga orang sahabat yang tidak sebaya. Ada Rizal, cowok SMA yang beken di internet sebagai blogger dan selebtwit, Juni, cewek SMP yang pintar, suka membaca serial detektif, dan pernah jadi korban pembullyan di sekolah, dan David, anak kecil berusia 5 tahun yang cerdas dan tertarik pada hal-hal yang berbau misteri serta petualangan.

Meskipun tidak sebaya, mereka bisa bersahabat sangat erat, bahkan seperti keluarga. Jika salah satu dari mereka tertimpa masalah, maka yang lain pasti akan ikut peduli dan berusaha membantu. Apa yang menyatukan mereka adalah sebuah tempat bernama SURGA. Yaitu sepetak tanah yang terletak di belakang komplek ruko orangtua mereka (Fyi, mereka bertiga tinggal di ruko yang bersebelahan. Rizal di ruko kelontong, Juni di ruko sablon, dan David di ruko bakery). Di SURGA, mereka bebas menjadi diri mereka sendiri, bebas melakukan hal-hal yang mereka senangi.

Masalah mulai datang saat tiba-tiba terpasang papan pemberitahuan bahwa SURGA akan dijual oleh pemiliknya,  yang berarti, sebentar lagi SURGA tidak bisa mereka tempati. Mereka pun melakukan perlawanan dengan cara-cara khas remaja. Nah, sampai di sini, saya masih menikmati alur cerita dari buku ini karena cara penceritaan yang lucu, fresh, namun sederhana. 

Pembaca diajak untuk menyelami pemikiran dari tokoh cerita melalui sudut pandang tiap tokoh. Sudut pandang Rizal, Juni, dan David tertuang dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh mereka masing-masing. Jurnal Rizal menceritakan kehidupannya sebagai anak dari pedagang kelontong yang tampan, kekar sekaligus menjadi fenomena di dunia maya. Tipikal anak muda masa kini yang menjadikan internet sebagai tempat berkeluh kesah dan juga membangun citra diri yang sama sekali berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Jurnal Rizal juga bercerita tentang Cynthia, cewek cantik, dancer yang ditaksirnya di sekolah. Pesan penting yang bisa ditangkap dari sudut pandang Rizal adalah, jujur itu baik. Sekian. Hahaha...

Selanjutnya jurnal Juni bercerita tentang kehidupannya sejak awal masuk sekolah di mana ia menjadi korban pembullyan kakak kelas karena pintar. Bagaimana akhirnya pembullyan itu berdampak ke karakter Juni yang malah jadi ikut-ikutan membully adik kelas. Jurnal Juni juga bercerita tentang masalah keuangan di toko sablon ayahnya yang berakibat keluarganya harus menjual ruko mereka. Masalah-masalah yang diangkat dalam novel ini memang sangat segar dan pasti sangat familiar di kalangan remaja. Pesan positif dari jurnal Juni adalah berani meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan.

Lalu ada jurnal David dan tulisan dari Imelda di akhir cerita. Bagian ini akhirnya bisa menguras air mata saya sekaligus paling banyak menimbulkan tanda tanya. Jujur saya tidak suka ending yang tidak terduga di tengah-tengah cerita yang sederhana. Ending ini seolah mengambil peran paling besar dan membuat saya melupakan kesan hangat yang mengalir saat membaca jurnal Rizal dan Juni. Baru akhir tahun kemarin saya membaca We Were Liars-nya E. Lockhart yang punya ending mirip dengan ending Pintu Harmonika ini. Tapi bedanya, We Were Liars banyak memberi clue sekaligus jawaban-jawaban dari semua pertanyaan yang keluar dari benak saya di akhir cerita. Suasana yang dibangun sejak awal di buku We Were Liars pun sudah senada dengan endingnya. Di Pintu Harmonika, tidak ada clue sama sekali akan apa yang terjadi selain isi jurnal David yang 'mistis'. Seolah-olah cerita di jurnal David adalah cerita yang terbangun sendiri dan tidak ada kaitan apa pun dengan cerita Rizal dan Juni. Lalu kenapa saya menangis? Karena cara penulisnya menuangkan kesedihan Imelda. Siapa Imelda? Baca sendiri. Hehehe...



8 komentar:

  1. Reviewnya bikin pnasaran, duh 😓

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baca, Mas tapi saya cuma kasih dua bintang di goodreads. Gara-gara ending sih. Hehe

      Hapus
    2. Wah yaudah ga jd baca kalo gitu 😂

      Hapus
    3. Tapi siapa tahu kamu suka, lho hehehe

      Hapus
  2. Kalau aku selain ending juga kurang sreg dengan cara penceritaan karakter Juni, kadang gue-kadang aku, kadang terlihat gawl kadang terlihat nerd #mikir
    tapi aku pun nangis sewaktu baca pov imelda :'( dan kusuka karakternya Rizal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, Tan. Lupa kubahas. Apa karena Juni abegeh jadi suka aku-gueh sesukanya? Ahahaha..
      Aku juga suka karakter Rizal. Pede dan lucunya itu loh. Kalau Tan Sis bacanya pas di klinik, pasti dikirain lagi ada masalah keluarga ya, Tan wkwkwkw...

      Hapus
  3. Sudah ada filmnya juga loh ini mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Filmnya malah sudah lama, ya? Dan saya baru baca bukunya >,<

      Hapus