Kamis, 07 Maret 2019

Ngapain Sekolah Jauh-Jauh Kalau....


Gambar dari sini

Sering banget sih ya dengar komentar orang tentang hidup orang lain. Contohnya, di sebuah sore, di sela-sela canda ria (ceileh) dengan teman-teman sepulang kerja, sempat terlontar kalimat yang ditujukan ke saya seperti ini, 
"Lo ngapain sekolah jauh-jauh, masuk sekolah favorit, tapi sekarang sama aja kayak gw." 


Sama aja kayak gw means jadi PNS dengan gaji kecil di Kabupaten yang di Indonesia raya ini lebih terkenal sebagai nama rumah makan dibanding nama kabupaten. Pengen ketawa sih, tapi dia benar. Benar kalau dia bicara soal apa yang dia lihat sebagai hal-hal fisik. Gaji, tempat kerja, lokasi yang jauh dari rumah, dll. Tapi kalau bicara soal kualitas diri, saya tidak yakin itu benar, atau pun kalau itu salah, saya tidak akan dengan jumawanya bilang bahwa kualitas diri saya akan lebih baik. Intinya, menanggapi pembicaraan seperti itu tidak apple to apple. Saat bagi saya sebuah kesuksesan adalah meningkatnya kualitas diri saya lewat pencapaian-pencapaian yang telah saya targetkan, dia menempatkan kesuksesannya dengan hal-hal fisik yang menurutnya tidak perlu dengan susah payah dia dapatkan. 

Kalimat itu mirip sekali dengan kalimat, "Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi ibu rumah tangga juga?" Huh, saya memang agak sensitif dengan kalimat-kalimat yang menyepelekan sebuah proses. Apa orang sekolah tinggi-tinggi hanya untuk jadi pekerja? Jika iya, maka itulah definisi sukses sang pemberi komentar. Tapi bagi ibu yang sudah sekolah tinggi-tinggi dan tidak bekerja, mungkin nilai kesuksesan baginya adalah berhasil membesarkan anak-anaknya tanpa campur tangan orang lain, atau hal-hal lainnya.

Jadi kembali ke komentar yang dilontarkan dengan niat bercanda (mudah-mudahan begitu), saya bisa saja menjawab pertanyaan, "Ngapain" itu tadi dengan ratusan jawaban yang akan sangat membuat si penanya tidak nyaman. Salah satunya, "Saya sekolah jauh-jauh untuk belajar berempati, open minded, dan tidak melontarkan kalimat-kalimat yang menyepelekan orang lain." Tapi jawaban itu saya simpan rapat-rapat karena sekolah jauh-jauh itu juga mengajarkan saya untuk menahan diri dan menghindari konflik semampu saya agar orang lain tetap nyaman. Jadi alih-alih menjawab dengan kalimat yang akan memancing perdebatan, saya memilih menjawab, "Hahaha...iya." 

I give the answer that you want me to. 

4 komentar:

  1. Td pas baca di awal dalem hati udh nggremet, "ya paling enggak sekolah gue bikin gue cukup beradab buat ga nyinyir. Mo jauh mo deket ya suka2 dong. Sirik ya ga pernah sekolah di sekolah favorit?" lalu inget... Oh iya, itu jawaban nyinyir juga. :p

    Untungnya kualitas diri ga diukur dari profesi dan "peran publik" ya, tan, sama halnya dengan kebahagiaan. Dan untungnya lagi, omongan cem itu itu jg ngk akan merenggut pengalaman dan kesadaran yg kita dapat dari perjalanan hidup selama sekolah jauh-jauh itu. Cyailah bahasanya "merenggut" banget... Selamat ngeblog kembali, tan. Kutunggu cerita2nya. ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, Tan. Jadinya ucapan itu Alhamdulillah hanya sekadar lewat aja. Dan malah bisa jadi inspirasi untuk konten blog. Btw, aku baru tau kamu ada blog baru. SAD =(

      Hapus
  2. They don't know the perks of studying in prestigious universities. It's their lost.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaw, kenapa aku gak jawab gini, ya? Eh, iya harus pintar menahan diri karena sudah sekolah jauh-jauh #sarcasm

      Hapus